Kisah
hijrah Rasulullah ke Madinah menorehkan sebuah kejadian agung bagi sejarah
dunia. Muhammad, Sang Nabi mulia melakukan beberapa hal reformasi setibanya di
Madinah. Di antaranya yang kita kenal dengan “Mu’aakhoot”, mempersaudarakan
kaum Muhajirin Makkah dan kaum Anshor Madinah. Kaum Muhajirin, mereka yang
datang ke Madinah, meninggalkan tak hanya sanak keluarga, bahkan harta yang
mereka punya demi sebuah panggilan dan usaha penyelamatan bulir-bulir keimanan
dalam hati. Pengorbanan akan semuanya, demi sebuah keimanan, mereka rela untuk
berhijrah ke suatu tempat, yang mereka tidak tahu bagaimana nasib mereka
nantinya. “Blank” begitulah dapat kita istilahkan. Tapi hanya ada satu
nama di benak mereka, “Kota Madinah”, adalah tempat mereka berhijrah membawa
benih-benih keimanan, walau mereka tidak tahu apa dan bagaimana Madinah,
bagaimana mereka akan dapat hidup di sana, penghasilan apa yang dapat mereka cari
selama berhijrah di sana, tetapi keyakinan itu semakin menguat, Allah yang
memerintahkan untuk berhijrah, tentu sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan
mereka. Seperti halnya, Ibunda Hajar yang ditinggal oleh suaminya di tanah gersang,
dengan bekal yang serba kekurangan, jauh dari penduduk atau kesuburan tanah
bersama sang bayi mungil. Keimanan yang sungguh luar biasa. Hijrah yang
bersumber kepada keyakinan “Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan
RasulNya, maka (pahala) hijrahnya kepada apa yang mereka hijrahi…”.
Kisah
dan kejadian selama “Mu’aakhot” ini sungguh menyisakan kepada kita
pelajaran yang begitu berharga tentang pentingya menjaga ukhuwwah Islamiyyah,
yang hampir saja tergeser nilainya di era canggih seperti ini. Kisah mu’aakhot
ini jika tidak terabadikan dalam Qur’an Agung ataupun Sunnah Mulia, tentu kita
akan dapat dengan enteng mengatakannya bahwa itu hanyalah kisah khayalan
belaka.
Abu
Bakar yang dimu’aakhotkan, dipersaudarakan dengan Khorijah bin Zuhair,
Umar bin Khottob yang dipersaudarakan dengan ‘Anban bin Malik, Abu Ubaidah bin
Al jarrah yang dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Mu’adz merupakan bukti-bukti
sejarah tentang ini. Bahkan persaudaraan ini tak hanya sekedar saling menolong,
saling berbagi saja, lebih jauh dari itu, timbulnya hubungan saling mewarisi
satu sama lain. Tiada hubungan nasab, ataupun kerabat yang mengikat mereka,
hubungan keimanan menerobos kuat hingga menjadikan mereka bersaudara melebihi
dari saudara senasab. Di bawah naungan ukhuwwah antara kaum Muhajirin dan
Anshor ini, muncul kisah yang terabadikan oleh sejarah, dua orang yang
bersaudara karena Allah, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’, dimana karena
cintanya Sang Anshor Sa’ad bin Rabi’ terhadap saudaranya, muhajir, Abdurrahman
bin Auf, Sa’ad menawarkan separo dari hartanya, bahkan menyuruh Abdurrahman
untuk memilih satu dari kedua istrinya untuk ia ceraikan supaya Abdurrahman
dapat menikahinya. Subhanallah!
Terabadikan
pula bahwa kaum Anshor hampir rata-rata ingin membagi tanah kebun yang mereka
punya kepada saudaranya kaum muhajir, dengan halus Rasulullah mengajarkan
kepada mereka bahwa ukhuwwah ini jangan sampai membahayakan terhadap
kepemilikan harta mereka, tetapi cukup bahwa kaum muhajirin dapat menikmati
hasil tanaman bersama dengan saudaranya kaum anshor. Terpujilah mereka, karena
akhlaqnya, Allahpun memujinya: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota
Madinah dan telah beriman [Ansar] sebelum [kedatangan] mereka [Muhajirin],
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
[orang Muhajirin]; dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin], atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan [apa yang mereka berikan itu]. Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. (QS. Al Hasyr: 9)
Sebuah
teladan dan sikap yang agung dari para pendahulu kita untuk kita jadikan
barometer dan teladan kita dalam berukhuwwah karena Allah. Akankah kita selalu
mencobanya hingga kita dapat merasakan manisnya ukhuwwah ini? Atau malah kita
malas untuk merakit membangunnya dengan dalih rasa bosan karena usaha kita tak
berbuah?
“Sesungguhnya
kaum beriman adalah bersaudara”. Sebuah slogan yang bersumber dari kalamullah
yang Agung. Slogan yang tentunya semua kita, saya dan anda, dituntut untuk
dapat bersama-sama menghidupkannya kembali sebagaimana dulu ia pernah lama
bersinar.
Ta’aruf,
Tafahum, dan Ta’awun Ialah Kuncinya
Ta’aruf,
saling mengenal, merupakan landasan
dasar dalam berukhuwwah. Ialah asas berinteraksi. Mencoba mengenali saudara
seiman yang berada di depan kita. Nama, panggilan yang disukainya, asal daerah,
atau kebiasaan yang ia suka dan tidak ia suka, dapat menjadi sebuah bekal untuk
dapat berinteraksi lebih jauh. Bukankah kita sering mendengar “Tak kenal maka
tak sayang”, sama persis berlaku sejalan lurus dalam berusaha membina ukhuwwah.
Maha Benar Allah ketika Ia berfirman: “ Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..”
(QS. Al Hujurat: 13)
Perbedaan cara berbicara, gaya bahasa sering kali
menimbulkan sebuah masalah dalam ukhuwwah. Si A yang memang gaya bahasa dan
intonasi yang terdengar kurang ramah, membuat si B bersu’udzon bahwa si A
sedang memarahinya. Tak heran, jika si B merasa sakit hati karena gaya bicara
si A. setelah berkenalan, berbaur lebih jauh, mereka dapat saling mengenal, dan
saling memahami bahwa kita diciptakan oleh Allah dengan masing-masing karakter
yang berbeda. Perbedaan yang unik, yang akan menjadikan pemakmuran dunia dengan
selaras.
Dengan ta’aruf. Saling mengenal, kemudian bertafahum,
saling memahami, kita akan dapat berinteraksi dengan mulus. Ustadz Salim Fillah
memberikan gambaran yang menarik tentang ini, berikut beliau tuliskan dalam
bukunya Dalam Dekapan Ukhuwah:
“Ibarat sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki
ukurannya. Memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti, Memaksakan
kasut besar untuk tapak mungil akan merepotkan. Kaki-kaki yang nyaman dalam
sepatunya akan berbaris rapi-rapi”.
Ta’awun
merupakan fase berikutnya, setelah terbangun ta’aruf dan tafahum yang baik,
secara otomatis rasa ta’awun akan tercipta. Saling tolong menolong karena
Allah. Seorang saudara akan mudah dan ringan menolong saudaranya yang
membutuhkan, memenuhi hajat mereka. “Saling tolong menolonglah kalian
dalam kebaikan dan taqwa..” begitulah terabadikan dalam QS. Al Maidah:
2.
Terpujilah
Rasulullah, yang selalu menjadi orang yang pertama dalam berta’awun, dalam
memenuhi hajat kaum muslimin. Termaktub dalam riwayat bahwa beliau sering
berjalan memenuhi kebutuhan para janda tua, fakir miskin juga anak-anak. Bahkan
dalam shohih jami’, dari Ibnu Abbas, sabdanya “.. seandainya aku berjalan
untuk memenuhi kebutuhan saudaraku lebih baik di sisi Allah dari beribadah
I’tikaf selama satu bulan..”.
Hasad
Ibarat Api Pemakan Kayu
Dalam
perjalanan hidup ini, sering kali kita mendapatkan nikmatNya, tak berbilang
jika kita mencoba menghitungnya. Pun saudara kita seislam, tak luput Allah
selalu mengguyurkan nikmat padanya. Nikmat-nikmat ini terkadang menggoreskan
rasa hasad, rasa tidak suka apalagi jika kita tidak mempunyai nikmat tersebut.
Tidak suka dengan nikmat yang dimiliki oleh saudara kita, dengan disertai
harapan supaya nikmat tersebut hilang atau tanpanya, ialah hasad, seperti yang
didefinisikan oleh Syekhul Islam, Ibnu Taimiyyah.
Teman
yang terdengar oleh kita, bahwa ia akan dapat melanjutkan studinya dengan berbeasiswa,
teman yang datang kepadanya rizki jodoh, rizki anak, rizki uang yang berlebih
karena “excellent” dalam pekerjaannya, sudah sewajarnya dan seharusnya kita
ikut berbahagia. Ikut mendoakannya semoga berkah. Tidak boleh sakit hati
mendengarnya, apalagi benci karena kita belum mendapatkannya. Serukan,
“Alhamdulillah, semoga Allah memberkahinya, dan ya Allah berikan aku rizqi
sebagaimana Kau memberinya”.
Ingatlah,
bahwa hasad hanya akan membawa bahaya bagi diri kita sendiri. Ia bahkan lebih
jauh tersifati seperti api yang melahab kayu bakar. Dengan cepat, hasad akan
dapat melahab pahala kebaikan seseorang. “Jauhilah oleh kalian hasad. Karena
hasad akan menghilangkan kebaikan, sebagaimana api yang melahab kayu bakar”,
pesan Nabi mulia seperti yang teriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam kitab Sunnah
Ibnu Dawud.
Seorang
pendengki hanya akan membahayakan diri sendiri, tipu daya pun akan kembali
kepada yang membuatnya. Sebuah hakikat yang seratus persen dapat
dipertanggungjawabkan. Al Ghazali dalam
kitabnya yang populer "Ihya' Ulumid Diin" dengan apik
menceritakan kepada kita sebuah cerita tentang seorang pendengki di istana
raja.
“Alkisah,
di sebuah negeri yang diperintah oleh seorang raja” begitu beliau memulai
ceritanya. Pada suatu hari datanglah seseorang kepada raja dan memberi nasehat,
“Balaslah orang yang berbuat baik karena kebaikan yang ia lakukan kepada
Baginda. Tetapi jangan hiraukan orang yang berbuat dengki pada Baginda, karena
kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya."
Hadir
pula pada saat itu seorang wazir pendengki, yang merasa iri dengan cara
pemuliaan raja terhadap orang tadi. Dan rencana makar pun mulai tumbuh di
hatinya. Setelah penasehat tadi pergi, ia menghadap raja, dan berkata, “Tadi
penasehat itu bilang kepadaku bahwa mulut baginda bau. Kalau baginda tidak
percaya, panggilah ia kembali untuk menghadap baginda”. Marah bukan sang
Raja?!. Wajar, beliau marah. Dan ingin membuktikan ucapan wazir. Raja
mengundang kembali si penasehat untuk datang kepadanya.
Pada
hari yang ditentukan untuk datang, sebelum ia menghadap raja, si wazir
menjamunya terlebih dulu dengan makanan yang berbawang banyak dan berbau tajam.
Tiba saatnya ia harus pergi menghadap sang raja. Raja menyuruhnya untuk
mendekat, dan berbisik-bisik kepadanya. Tetapi sungguh ia khawatir dengan
kondisinya sendiri, merasa ia akan dapat menyakiti raja karena bau mulutnya
yang tidak enak. Tak ada cara lagi, ia harus memenuhi perintah raja. Ia pun
maju dengan penuh keraguan, dan menutup mulutnya sambil berbisik kepada raja.
“Wazir benar, penasehat ini melecehkanku dan menganggap mulutku bau”, batin
sang Raja merasa sakit hati.
Tak
lama kemudian, raja menulis surat yang isinya “Jika sampai kepadamu surat ini,
maka sembelihlah yang membawanya, kuliti ia”, dan raja pun memberikan kepada
penasehat untuk dibawa kepada salah seorang petugasnya seraya berujar: “Bawa
surat ini kepada salah seorang petugasku, niscaya ia akan memberimu hadiah”. Dengan
penuh keheranan, si penasehat pergi keluar ingin mencari petugas istana, tak
disangka wazir bertemu dengannya, ia berharap bahwa raja akan menghukumnya.
Dengan polos, si penasehat bercerita bahwa raja memberikan surat ini karena
raja akan memberi hadiah. Alhamdulillah, lanjutnya dengan wajah berbinar.
Wazir
pun tak tanggung-tanggung menyuruh si penasehat untuk beristirahat, mewakilkan
kepadanya surat untuk diberikan kepada petugas istana karena ia lebih tahu
seluk beluk istana. Akhirnya, kita tentu dapat menebak akhir dari kisah ini.
Ya, bahaya hasad tidak kembali kecuali kepada dirinya sendiri.
Marilah
kita selalu mengingat wasiat Penghulu para nabi, yang termaktub dalam Bukhori
Muslim: “Walaa tahaasaduu… janganlah kalian saling iri dengki.."
Saling
Memaafkan & Selalu Berhusnudhon
Suatu
ketika seorang budak perempuan milik Maimun bin Mahram, seorang alim dari
golongan Tabi’in, membawa semangkuk kuah yang akan dijamukan kepada tamu-tamu
sayyidnya, Maimun bin Mahran, namun tak disangka, si budak terpelesat, hingga
mangkuk kuah tumpah semua mengenai baju Maimun. Hampir saja, sang Alim Maimun,
memukulnya karena meluapkan amarahnya, tetapi si budak cerdik telah berkata
lebih dulu, “Wahai sayyid, …dan
orang-orang yang menahan amarahnya”. “aku sudah melakukannya”, timpal
Maimun. Si budak berkata lagi: “ ..dan (orang yang) memaafkan
kesalahan orang lain…”. Sang Alim maimun menjawab: kumaafkan
kesalahanmu. “dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”,
tambah si budak lagi meneruskan rentetan ayat 134 dari surat Ali Imran. “Kau
ku bebaskan karena Allah”, sambut Maimun. Demikian tulis Al Qurthubi, dalam
menafsirkan Ali Imran: 134 : “…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan [kesalahan] orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Mereka
yang dapat memaafkan dan minta maaf, tentunya merekalah yang berjiwa besar.
Tidak gampang melakukannya. Sisi ego kita selalu lebih dulu berada di depan
kita, mengalahkan naluri dan akal kita. Ditambah adanya sedikit perasaan tidak
mau kalah, karena seakan tersirat bahwa orang yang memaafkan adalah orang yang
kalah. Tetapi tentu ini jauh dari kebenaran. Muhammad, Sang Nabi Al Aamin,
dalam sejarah hidupnya sudah banyak memberi contoh dalam hal ini. Sifat
memaafkan sudah terpatri dalam di sanubari.
Terngiang
di benak kita, sebuah kisah yang pernah kita hafal sejak kecil, ketika Nabi
agung Muhammad sedang beristirahat di bawah pohon, datang seorang laki-laki
membawa pedang ingin membunuhnya, seraya berujar: “Ya Muhammad, siapa yang
bisa menolongmu?!”. Rasulullah menjawab: “Allah”. Laki-laki tersebut
menjadi ketakutan, keringat dingin bercucuran, dan pedangnya pun terjatuh.
Diambilnya pedang oleh Rasulullah, dan berujar: “Sekarang siapa yang bisa
menghalangiku darimu”. Ia menjawab: Jadilah orang yang baik”. Rasulullah
pun lalu memaafkannya dan membebaskannya. Sebuah cerita penuh makna dan
pelajaran bagi kita sebagai ummatnya, yang diceritakan kembali oleh Bukhori
Muslim.
Dalam
berukhuwwah, saling memaafkan mutlak diharuskan. Memaafkan menjadikan diri
semakin mulia di sisi Allah. Termasuk nama dari Asmaul Husna, adalah Al Afuwwu,
yang Maha Memaafkan. “Allahumma innaka Afuwwun, Tuhibbul ‘Afwa fa’fu annii”,
demikian anjuran Rasul ketika kita berdoa, ya Allah, Engkau Maha memaafkan,
maafkan aku”. Tersirat dari nama Allah dan doa ini, bahwa kita pun oleh Allah
diperintah untuk menjadi orang yang pemaaf, sehingga ketika kita melakukan
kesalahan, mereka pun dengan ringan dapat memaafkan kita.
Sebagaimana
sifat saling memaafkan dapat menyirami ukhuwwah hingga menjadi bunga yang segar
dan selalu tumbuh mekar, berhusnudhon juga dapat menjadi pupuk ukhuwwah, yang
berperan serta memupukinya, menjadikannya tumbuh subur. “Sebagaimana wajib
bagimu untuk menjaga lisanmu dari berkata kejelekan saudaramu, wajib pula kau
diam dan menjaga hatimu, yaitu dengan meninggalkan buruk sangka kepadanya.
Ketahuilah sesungguhnya buruk sangka adalah ghibahnya hati. Perbuatan
saudaramu, bawalah ia kepada sisi yang baik, semampumu. Anggaplah apa yang kau
saksikan berupa kejelekan saudaramu sebagai bentuk kelupaan yang terjadi padanya”,
tutur Al Ghazali dalam “Al Ihya’ yang cukup masyhur di khazanah dunia Islam.
Tiada
yang dapat membuat hati ini menjadi lebih tenang lebih dari berbaik sangka.
Berbaik sangka pada Allah pada level yang pertama, untuk kemudian berbaik
sangka kepada orang lain, khususnya kepada saudara muslim. Berbaik sangka
menjadikan hati menjadi bersih, jauh dari kekotoran hati. Sebaliknya, berburuk
sangka hanya dapat menjadikan hati penuh dengan rasa ketidaksukaan, salah
langkah, bahkan fatal bahayanya. “Jauhilah oleh kalian buruk sangka. Karena
ia adalah ucapan yang paling berdusta”, wasiat Nabi sebagai upaya pembinaan
sebuah ukhuwwah Islamiya.
Berdoa
merupakan salah satu cara untuk dapat mempunyai sifat husnudhon, memohon
kepadaNya untuk selalu memberikan hati yang bersih kepada kita. Selain itu,
kita upayakan menempatkan diri berada pada posisi saudara kita, jika terlontar
ucapan atau perbuatan dari saudara kita, maka kita mencoba berada di posisinya
sehingga dapat terbangun husnudhon. Mencoba mencari udzur/alasan dari saudara
kita, juga tak kalah pentingnya dalam menempa diri untuk berhusnudhon, ketika
suatu saat saudara kita ingkar janji, misalnya, kita coba mencari-cari alasan
buat kesalahan ini. Oh, kemungkinan ia lagi sakit, jika timbul setan berkata,
tidak mungkin. Kembali kita coba cari alasan lain, hingga hati kita bersih
dapat menerima kesalahan ini. Dan yang perlu kita camkan bahwa husnudhon
merupakah sebuah akhlaq mulia, ibadah dan pahala agung yang dengannya dapat
tercipta Qalbun Salim, hati bersih, yang hanya dengannya kita akan
bertemu dengan Sang Maha Pemilik Hati.
Seorang
Alim bernama Thalhah bin Abdillah bin Auf, suatu hari istrinya Aisyah binti
Abdillah bin Muthi’ mengeluh: “Demi Allah, hai suamiku, aku tidak pernah
menemukan orang yang lebih buruk sifatnya dari sahabat-sahabatmu”. Thalhah
pun terkejut dan berujar: “Jangan sampai mereka mendengar ini. Sifat buruk
apa yang kau maksud?!”. “Sifat buruk yang tampak sekali jelas”, ujar istri
menampali lagi. “Jika engkau dalam keadaan senang mereka datang dan
menemanimu. Tapi jika engkau susah, mereka menjauhimu”, keluhnya lagi
dengan sewot. “Sebenarnya bukanlah seperti itu”, jawab suami
dengan ringan. “Justru itu adalah hal yang mulia” tambahnya lagi. “Maksudmu
bagaimana?” tanya si istri dengan muka berkerut, penasaran. “Memang
demikian, mereka berkunjung di saat kita mampu menjamu. Tetapi saat kita tidak
mampu menjamu, mereka memahaminya, dan tidak datang ke sini”, tegas si
suami dengan hati yang penuh husnudhon kepada saudara-saudaranya.
Itulah
gambaran hati-hati yang bersih. Selalu mencoba untuk berhusnudhon kepada Allah
untuk kemudian kepada manusia, karena ia adalah seruan mulia.
Mimbar
Cahaya
“Orang-orang
yang saling mencintai karena keagunganKu, mereka berada pada mimbar dari
cahaya, para nabi dan para syahid iri kepada mereka”, firman Allah
dalam sebuah hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal
ra.
Sebuah
kedudukan yang agung di hari qiyamat nanti bagi mereka yang selalu berusaha
membangun ukhuwwah di atas cinta karenaNya, kedudukan yang oleh para nabi dan
para syahid menjadi iri karenanya. Mari kita bersama-sama mencoba membangunnya,
sebuah ukhuwwah islamiyah, menembus ukhuwwah karena nasab. Sebuah ukhuwwah,
yang jika kita berhasil menguatkan pondasinya, menyusun bata-batanya dengan
rapi dan kuat pula, niscaya ia akan menjadi sebuah bangunan yang kokoh, akan
timbul kembali sebuah peradaban yang telah lama sirna.
Posting Komentar